Selasa, 12 Juli 2016

Puasa Syawal

Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. (H.R. Muslim)

Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. (H.R. Ibnu Majah)
Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan enam hari pada bulan Syawwal, berarti sudah melaksanakan puasa satu tahun. (H.R. Ibnu Hibban)

Puasa bulan Ramadhan, (ganjarannya) sepuluh bulan dan puasa enam hari (sama dengan) dua bulan. Itulah puasa satu tahun. (H.R. Ibnu Khuzaimah)

Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi). (Q.S. Al-An'am ayat 160)

Puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.


Sumber :


Jumat, 08 April 2016

I'Tiraf

Alkisah, seorang laki – laki setengah baya sedang duduk sendirian, memperhatikan matahari yang berangsur – angsur tenggelam. Suasananya cukup hening. Ia melihat begitu indahnya warna langit yang di penuhi dengan mega berwarna kuning jingga. Ia memperhatikannya dengan seksama, hingga akhirnya suasana indah itu hilang seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat. Entah apa penyebabnya, tiba – tiba ia tak mampu membendung air matanya. Hatinya terasa pedih. Ia menangis tersedu – sedu. Ia menengadahkan kedua tangannya sambil berkata :

” Ilahi lastu lil firdausi ahlan
Walaa aqwaa ‘alannaril jahiimii
fahabli taubatan waghfir dzunuubi
fainnaka ghafirudzdzambil ‘adzhiimii
dzunuubi mitslu a’daadir rimali
fahablii taubatan yaa dzal jalaali
wa ‘umrii naaqishun fii kulliyaumi
wa dzambii zaa idun kaifahtimali
ilahi ‘abdukal ‘aashi ataaka
muqirran bi dzunubi waqad da’aaka
fa in taghfir faanta lidzaka ahlun
wa in tadrud faman narjuu siwaakaa “

Terjemahannya kurang lebih demikian :
” Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli syurga firdausMu
Namun aku juga tak kan sanggup masuk ke neraka jahimMU.
Oleh karena itu, terimalah taubatku dan tutupilah dosa – dosaku.
Sesungguhnya Engkau maha mengampuni dosa – dosa besar.
Dosa – dosa ku seperti hamparan pasir di laut, maka terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Agung…
Umurku terus berkurang setiap hari, namun dosa – dosaku bertambah setiap hari…
Bagaimana aku mampu menanggungnya ?
Ya Tuhanku, hambaMu yang berlumur dosa ini datang kepadaMU
Sesungguhnya aku benar – benar berdosa kepadaMU
Dan bila Engkau tidak mengampuni aku, kepada siapa lagi aku berharap selain Engkau ?”

Abu Nawas, sosok yang dikenal sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa, sebenarnya adalah orang yang baik dan sangat jujur. Kalimat – kalimat diatas adalah bentuk pengakuan dirinya atas semua dosa – dosa yang telah ia perbuat. Ketika Ia menyadari usianya yang semakin senja, tentu saja kepastian untuk segera kembali menghadap ALLAH itu pun akan segera datang.

Ia menangis ketika menyaksikan matahari tenggelam, karena ia menyadari bahwa orang hidup di dunia ini dapat di ibaratkan seperti itu. Namun jarang sekali kita mau merenungkan tanda – tanda kebesaran ALLAH swt. Dan mengambil pelajaran dari peristiwa demi peristiwa dalam hidup kita. Ketika matahari akan tenggelam sering kali membawa suasana menyenangkan dan warna langit menjadi sangat indah. Sampai – sampai banyak orang yang terlena oleh keindahannya. Sementara mereka tidak menyadari bahwa sebentar lagi matahari akan tenggelam dan kegelapan malampun akan segera menyelimutinya. Kecuali orang yang sadar dan telah menyiapkan diri dengan membawa lentera untuk menerangi ketika malam tiba.

Rasulullah saw menangis hingga berguncang dadanya dan jenggotnya basah oleh air mata ketika menerima wahyu yang berbunyi : ” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda – tanda (kebesaran ALLAH) bagi orang – orang yang berakal. Yaitu orang – orang yang mengingat ALLAH sambil berdiri atau duduk ataupun berbaring, dan mereka yang merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata : ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia – sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.’ ” (QS. Ali – Imran : 190 – 191)

Ketika Bilal bin Rabbah, muadzin kesayangan Rasulullah datang menegur, ” Mengapa engkau menangis wahai Rasulullah ? Padahal ALLAH telah mengampuni dosa – dosamu yang lalu dan yang akan datang ?” Rasulullah pun menjawab, ” Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur ? Aku menangis karena tadi malam telah turun wahyu kepadaku yang bunyinya : ‘Celakalah orang – orang yang membaca ayat ini kemudian tidak mau merenungkannya.’ “ Saat ini, Rasulullah dan Abu Nawas sama – sama sudah tiada, namun kita harus merenungkan semua ini. Sudahkah kita menjadi hamba yang bersyukur dan menyadari keberadaan kita di dunia ini dan kewajiban kita padaNYA.

Seperti yang di katakan oleh Rasulullah bahwa hidup di dunia ini hanya persinggahan saja untuk menuju ke tujuan utama kita yaitu akhirat. Namun sudah cukupkah bekal kita untuk melakukan perjalanan tersebut ? Perjalanan akhirat menuju kehidupan yang sebenarnya, yang kekal dan abadi ?

Wallahualam bi shawab….

Semoga kita selalu dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa…

Sumber : http://www.kompasiana.com/maya.purnami/i-tiraf_54ff5fbea33311be4c50fe04
Pasti pernah dengan lagu I’tiraf yang di nyanyi’in Raihan kan ? Tau nggak, bahwa itu sebenarnya do’a yang di lantunkan oleh seorang hamba ALLAH yang bernama ABU NAWAS. Sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa… Gini nih ceritanya sampai doa itu terlantunkan… Alkisah, seorang laki – laki setengah baya sedang duduk sendirian, memperhatikan matahari yang berangsur – angsur tenggelam. Suasananya cukup hening. Ia melihat begitu indahnya warna langit yang di penuhi dengan mega berwarna kuning jingga. Ia memperhatikannya dengan seksama, hingga akhirnya suasana indah itu hilang seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat. Entah apa penyebabnya, tiba – tiba ia tak mampu membendung air matanya. Hatinya terasa pedih. Ia menangis tersedu – sedu. Ia menengadahkan kedua tangannya sambil berkata : ” Ilahi lastu lil firdausi ahlan Walaa aqwaa ‘alannaril jahiimii fahabli taubatan waghfir dzunuubi fainnaka ghafirudzdzambil ‘adzhiimii dzunuubi mitslu a’daadir rimali fahablii taubatan yaa dzal jalaali wa ‘umrii naaqishun fii kulliyaumi wa dzambii zaa idun kaifahtimali ilahi ‘abdukal ‘aashi ataaka muqirran bi dzunubi waqad da’aaka fa in taghfir faanta lidzaka ahlun wa in tadrud faman narjuu siwaakaa “ Terjemahannya kurang lebih demikian : ” Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli syurga firdausMu Namun aku juga tak kan sanggup masuk ke neraka jahimMU. Oleh karena itu, terimalah taubatku dan tutupilah dosa – dosaku. Sesungguhnya Engkau maha mengampuni dosa – dosa besar. Dosa – dosa ku seperti hamparan pasir di laut, maka terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Agung… Umurku terus berkurang setiap hari, namun dosa – dosaku bertambah setiap hari… Bagaimana aku mampu menanggungnya ? Ya Tuhanku, hambaMu yang berlumur dosa ini datang kepadaMU Sesungguhnya aku benar – benar berdosa kepadaMU Dan bila Engkau tidak mengampuni aku, kepada siapa lagi aku berharap selain Engkau ?” Abu Nawas, sosok yang dikenal sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa, sebenarnya adalah orang yang baik dan sangat jujur. Kalimat – kalimat diatas adalah bentuk pengakuan dirinya atas semua dosa – dosa yang telah ia perbuat. Ketika Ia menyadari usianya yang semakin senja, tentu saja kepastian untuk segera kembali menghadap ALLAH itu pun akan segera datang. Ia menangis ketika menyaksikan matahari tenggelam, karena ia menyadari bahwa orang hidup di dunia ini dapat di ibaratkan seperti itu. Namun jarang sekali kita mau merenungkan tanda – tanda kebesaran ALLAH swt. Dan mengambil pelajaran dari peristiwa demi peristiwa dalam hidup kita. Ketika matahari akan tenggelam sering kali membawa suasana menyenangkan dan warna langit menjadi sangat indah. Sampai – sampai banyak orang yang terlena oleh keindahannya. Sementara mereka tidak menyadari bahwa sebentar lagi matahari akan tenggelam dan kegelapan malampun akan segera menyelimutinya. Kecuali orang yang sadar dan telah menyiapkan diri dengan membawa lentera untuk menerangi ketika malam tiba. Rasulullah saw menangis hingga berguncang dadanya dan jenggotnya basah oleh air mata ketika menerima wahyu yang berbunyi : ” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda – tanda (kebesaran ALLAH) bagi orang – orang yang berakal. Yaitu orang – orang yang mengingat ALLAH sambil berdiri atau duduk ataupun berbaring, dan mereka yang merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata : ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia – sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.’ ” (QS. Ali – Imran : 190 – 191) Ketika Bilal bin Rabbah, muadzin kesayangan Rasulullah datang menegur, ” Mengapa engkau menangis wahai Rasulullah ? Padahal ALLAH telah mengampuni dosa – dosamu yang lalu dan yang akan datang ?” Rasulullah pun menjawab, ” Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur ? Aku menangis karena tadi malam telah turun wahyu kepadaku yang bunyinya : ‘Celakalah orang – orang yang membaca ayat ini kemudian tidak mau merenungkannya.’ “ Saat ini, Rasulullah dan Abu Nawas sama – sama sudah tiada, namun kita harus merenungkan semua ini. Sudahkah kita menjadi hamba yang bersyukur dan menyadari keberadaan kita di dunia ini dan kewajiban kita padaNYA. Seperti yang di katakan oleh Rasulullah bahwa hidup di dunia ini hanya persinggahan saja untuk menuju ke tujuan utama kita yaitu akhirat. Namun sudah cukupkan bekal kita untuk melakukan perjalanan tersebut ? Perjalanan akhirat menuju kehidupan yang sebenarnya, yang kekal dan abadi ? Wallahualam bi shawab…. Semoga kita selalu dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa…

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/maya.purnami/i-tiraf_54ff5fbea33311be4c50fe04
Pasti pernah dengan lagu I’tiraf yang di nyanyi’in Raihan kan ? Tau nggak, bahwa itu sebenarnya do’a yang di lantunkan oleh seorang hamba ALLAH yang bernama ABU NAWAS. Sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa… Gini nih ceritanya sampai doa itu terlantunkan… Alkisah, seorang laki – laki setengah baya sedang duduk sendirian, memperhatikan matahari yang berangsur – angsur tenggelam. Suasananya cukup hening. Ia melihat begitu indahnya warna langit yang di penuhi dengan mega berwarna kuning jingga. Ia memperhatikannya dengan seksama, hingga akhirnya suasana indah itu hilang seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat. Entah apa penyebabnya, tiba – tiba ia tak mampu membendung air matanya. Hatinya terasa pedih. Ia menangis tersedu – sedu. Ia menengadahkan kedua tangannya sambil berkata : ” Ilahi lastu lil firdausi ahlan Walaa aqwaa ‘alannaril jahiimii fahabli taubatan waghfir dzunuubi fainnaka ghafirudzdzambil ‘adzhiimii dzunuubi mitslu a’daadir rimali fahablii taubatan yaa dzal jalaali wa ‘umrii naaqishun fii kulliyaumi wa dzambii zaa idun kaifahtimali ilahi ‘abdukal ‘aashi ataaka muqirran bi dzunubi waqad da’aaka fa in taghfir faanta lidzaka ahlun wa in tadrud faman narjuu siwaakaa “ Terjemahannya kurang lebih demikian : ” Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli syurga firdausMu Namun aku juga tak kan sanggup masuk ke neraka jahimMU. Oleh karena itu, terimalah taubatku dan tutupilah dosa – dosaku. Sesungguhnya Engkau maha mengampuni dosa – dosa besar. Dosa – dosa ku seperti hamparan pasir di laut, maka terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Agung… Umurku terus berkurang setiap hari, namun dosa – dosaku bertambah setiap hari… Bagaimana aku mampu menanggungnya ? Ya Tuhanku, hambaMu yang berlumur dosa ini datang kepadaMU Sesungguhnya aku benar – benar berdosa kepadaMU Dan bila Engkau tidak mengampuni aku, kepada siapa lagi aku berharap selain Engkau ?” Abu Nawas, sosok yang dikenal sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa, sebenarnya adalah orang yang baik dan sangat jujur. Kalimat – kalimat diatas adalah bentuk pengakuan dirinya atas semua dosa – dosa yang telah ia perbuat. Ketika Ia menyadari usianya yang semakin senja, tentu saja kepastian untuk segera kembali menghadap ALLAH itu pun akan segera datang. Ia menangis ketika menyaksikan matahari tenggelam, karena ia menyadari bahwa orang hidup di dunia ini dapat di ibaratkan seperti itu. Namun jarang sekali kita mau merenungkan tanda – tanda kebesaran ALLAH swt. Dan mengambil pelajaran dari peristiwa demi peristiwa dalam hidup kita. Ketika matahari akan tenggelam sering kali membawa suasana menyenangkan dan warna langit menjadi sangat indah. Sampai – sampai banyak orang yang terlena oleh keindahannya. Sementara mereka tidak menyadari bahwa sebentar lagi matahari akan tenggelam dan kegelapan malampun akan segera menyelimutinya. Kecuali orang yang sadar dan telah menyiapkan diri dengan membawa lentera untuk menerangi ketika malam tiba. Rasulullah saw menangis hingga berguncang dadanya dan jenggotnya basah oleh air mata ketika menerima wahyu yang berbunyi : ” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda – tanda (kebesaran ALLAH) bagi orang – orang yang berakal. Yaitu orang – orang yang mengingat ALLAH sambil berdiri atau duduk ataupun berbaring, dan mereka yang merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata : ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia – sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.’ ” (QS. Ali – Imran : 190 – 191) Ketika Bilal bin Rabbah, muadzin kesayangan Rasulullah datang menegur, ” Mengapa engkau menangis wahai Rasulullah ? Padahal ALLAH telah mengampuni dosa – dosamu yang lalu dan yang akan datang ?” Rasulullah pun menjawab, ” Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur ? Aku menangis karena tadi malam telah turun wahyu kepadaku yang bunyinya : ‘Celakalah orang – orang yang membaca ayat ini kemudian tidak mau merenungkannya.’ “ Saat ini, Rasulullah dan Abu Nawas sama – sama sudah tiada, namun kita harus merenungkan semua ini. Sudahkah kita menjadi hamba yang bersyukur dan menyadari keberadaan kita di dunia ini dan kewajiban kita padaNYA. Seperti yang di katakan oleh Rasulullah bahwa hidup di dunia ini hanya persinggahan saja untuk menuju ke tujuan utama kita yaitu akhirat. Namun sudah cukupkan bekal kita untuk melakukan perjalanan tersebut ? Perjalanan akhirat menuju kehidupan yang sebenarnya, yang kekal dan abadi ? Wallahualam bi shawab…. Semoga kita selalu dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa…

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/maya.purnami/i-tiraf_54ff5fbea33311be4c50fe04
Pasti pernah dengan lagu I’tiraf yang di nyanyi’in Raihan kan ? Tau nggak, bahwa itu sebenarnya do’a yang di lantunkan oleh seorang hamba ALLAH yang bernama ABU NAWAS. Sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa… Gini nih ceritanya sampai doa itu terlantunkan… Alkisah, seorang laki – laki setengah baya sedang duduk sendirian, memperhatikan matahari yang berangsur – angsur tenggelam. Suasananya cukup hening. Ia melihat begitu indahnya warna langit yang di penuhi dengan mega berwarna kuning jingga. Ia memperhatikannya dengan seksama, hingga akhirnya suasana indah itu hilang seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat. Entah apa penyebabnya, tiba – tiba ia tak mampu membendung air matanya. Hatinya terasa pedih. Ia menangis tersedu – sedu. Ia menengadahkan kedua tangannya sambil berkata : ” Ilahi lastu lil firdausi ahlan Walaa aqwaa ‘alannaril jahiimii fahabli taubatan waghfir dzunuubi fainnaka ghafirudzdzambil ‘adzhiimii dzunuubi mitslu a’daadir rimali fahablii taubatan yaa dzal jalaali wa ‘umrii naaqishun fii kulliyaumi wa dzambii zaa idun kaifahtimali ilahi ‘abdukal ‘aashi ataaka muqirran bi dzunubi waqad da’aaka fa in taghfir faanta lidzaka ahlun wa in tadrud faman narjuu siwaakaa “ Terjemahannya kurang lebih demikian : ” Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli syurga firdausMu Namun aku juga tak kan sanggup masuk ke neraka jahimMU. Oleh karena itu, terimalah taubatku dan tutupilah dosa – dosaku. Sesungguhnya Engkau maha mengampuni dosa – dosa besar. Dosa – dosa ku seperti hamparan pasir di laut, maka terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Agung… Umurku terus berkurang setiap hari, namun dosa – dosaku bertambah setiap hari… Bagaimana aku mampu menanggungnya ? Ya Tuhanku, hambaMu yang berlumur dosa ini datang kepadaMU Sesungguhnya aku benar – benar berdosa kepadaMU Dan bila Engkau tidak mengampuni aku, kepada siapa lagi aku berharap selain Engkau ?” Abu Nawas, sosok yang dikenal sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa, sebenarnya adalah orang yang baik dan sangat jujur. Kalimat – kalimat diatas adalah bentuk pengakuan dirinya atas semua dosa – dosa yang telah ia perbuat. Ketika Ia menyadari usianya yang semakin senja, tentu saja kepastian untuk segera kembali menghadap ALLAH itu pun akan segera datang. Ia menangis ketika menyaksikan matahari tenggelam, karena ia menyadari bahwa orang hidup di dunia ini dapat di ibaratkan seperti itu. Namun jarang sekali kita mau merenungkan tanda – tanda kebesaran ALLAH swt. Dan mengambil pelajaran dari peristiwa demi peristiwa dalam hidup kita. Ketika matahari akan tenggelam sering kali membawa suasana menyenangkan dan warna langit menjadi sangat indah. Sampai – sampai banyak orang yang terlena oleh keindahannya. Sementara mereka tidak menyadari bahwa sebentar lagi matahari akan tenggelam dan kegelapan malampun akan segera menyelimutinya. Kecuali orang yang sadar dan telah menyiapkan diri dengan membawa lentera untuk menerangi ketika malam tiba. Rasulullah saw menangis hingga berguncang dadanya dan jenggotnya basah oleh air mata ketika menerima wahyu yang berbunyi : ” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda – tanda (kebesaran ALLAH) bagi orang – orang yang berakal. Yaitu orang – orang yang mengingat ALLAH sambil berdiri atau duduk ataupun berbaring, dan mereka yang merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata : ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia – sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.’ ” (QS. Ali – Imran : 190 – 191) Ketika Bilal bin Rabbah, muadzin kesayangan Rasulullah datang menegur, ” Mengapa engkau menangis wahai Rasulullah ? Padahal ALLAH telah mengampuni dosa – dosamu yang lalu dan yang akan datang ?” Rasulullah pun menjawab, ” Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur ? Aku menangis karena tadi malam telah turun wahyu kepadaku yang bunyinya : ‘Celakalah orang – orang yang membaca ayat ini kemudian tidak mau merenungkannya.’ “ Saat ini, Rasulullah dan Abu Nawas sama – sama sudah tiada, namun kita harus merenungkan semua ini. Sudahkah kita menjadi hamba yang bersyukur dan menyadari keberadaan kita di dunia ini dan kewajiban kita padaNYA. Seperti yang di katakan oleh Rasulullah bahwa hidup di dunia ini hanya persinggahan saja untuk menuju ke tujuan utama kita yaitu akhirat. Namun sudah cukupkan bekal kita untuk melakukan perjalanan tersebut ? Perjalanan akhirat menuju kehidupan yang sebenarnya, yang kekal dan abadi ? Wallahualam bi shawab…. Semoga kita selalu dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa…

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/maya.purnami/i-tiraf_54ff5fbea33311be4c50fe04

Sabtu, 19 September 2015

Menyambut Bulan Dzulhijjah

Halaman 1 :

Halaman 2 :


Halaman 3 :


Halaman 4 :


Sumber : Selebaran dari At Tauhid saat shalat jum'at di mesjid landmark

Sabtu, 05 September 2015

Shalat Dhuha

Keutamaan Shalat Dhuha

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.” (H.R. Muslim)

Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.” (H.R. Ahmad)

Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian.” (H.R. Muslim)

Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” (H.R. Thabrani, Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ad Darimi)

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama'ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka'at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (H.R. Tirmidzi)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah yang menjaga shalat dhuha melainkan orang yang kembali kepada Allah (Awwab),” Dia bersabda: “Itulah shalat orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwabin).” (HR. Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, dan Thabrani)

Waktu Shalat Dhuha

Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Waktu terbaik) shalat awwabin (nama lain untuk shalat Dhuha yaitu shalat untuk orang yang taat atau kembali untuk taat) adalah ketika anak unta merasakan terik matahari.” (H.R. Muslim)

Dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘Anhu, bahwa RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Shalat Awwabin (orang yang suka taubat) waktunya adalah ketika unta merasakan panas.” (H.R. Muslim, Ad Darimi dan Ibnu Hibban)

Jumlah Raka'at

Abu Hurairah mengatakan, “Kekasihku ,yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mewasiatkan tiga nasehat padaku: [1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan [3] Berwitir sebelum tidur.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berapa jumlah raka’at shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah menjawab, “Empat raka’at dan beliau tambahkan sesuka beliau.” (H.R. Muslim)

Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ad Darimi)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:  “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat bepergian, beliau shalat dhuha delapan rakaat. Setelah selesai Beliau bersabda: Tadi saya shalat dengan penuh harapan dan kecemasan, saya mohon kepada Tuhanku tiga hal, dan diberikan dua hal dan ditolakNya yang satu. Saya minta agar umatku tidak ditimpa bencana paceklik dan ini dikabulkan, dan saya meminta agar umatku jangan dikalahkan oleh musuh-musuhnya dan ini dikabulkan, dan saya meminta agar mereka jangan terpecah belah, dan ini ditolak.”  (H.R. Ibnu Majah, Ahmad, An Nasa’i, Al Hakim dan Ibnu Khuzaimah)

“Shalat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah)

Lain-lain

“Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.” (H.R. Bukhari)

Do'a Shalat Dhuha




Artinya : 
Ya Allah Bahwasanya waktu dhuha itu waktu Dhuhamu, kecantikan itu ialah kecantikan mu, keindahan itu keindahan mu, kekuatan itu kekuatanmu, kekuasaan itu kekuasaan mu dan perlindungan itu, perlindungan mu.

Ya Allah jikaa Rizkiku masih di atas langit, turunkanlah dan jika ada di dalam bumi maka keluar kanlah, jika sukar maka mudahkanlah, jika haram maka sucikanlah, jika masih jauh maka dekatkanlah, berkah waktu dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan, dan kekuasaanmu, limpahkanlah kepada kami segala yg telah engkau limpahkan kepada hamba-hambamu yg shaleh.